Dalam masalah menelan ludah saat seorang sedang berpuasa, Syekh Zainuddin al-Malibari menegaskan:
وَلَا يَفْطُرُ بِرِيْقٍ طَاهِرٍ صَرْفٍ اي خَالِصٍ اِبْتَلَعَهُ مِنْ مَعْدَنهِ وَهُوَ جَمِيْعُ الْفَمِّ وَلَوْ بَعْدَ جَمْعِهِ عَلَى الأَصَحِّ
“Tidaklah membatalkan puasa dikarenakan menelan ludah yang suci dan murni dari sumbernya yakni dari semua bagian mulut meskipun setelah dikumpulkan (terlebih dahulu) menurut pendapat yang paling shahih.” (Fathul Muin, hlm. 56)
Alasan utama bahwa puasa orang tersebut dianggap tidak batal adalah karena menelan ludah itu merupakan suatu kebiasaan yang sangat sulit untuk dihindari. (I’anah at-Thalibin, II/261)
lebih lanjut Syekh Nawawi Banten mengatakan:
بِخِلَاﻑِ ﻣَﺎ ﺇﺫَﺍ ﺧَﺮَﺝَ ﻋَﻦْ ﻣَﻌْﺪَﻧِﻪِ ﻛَﺎﻟْﺨَﺎﺭِﺝِ ﺇِﻟَﻰ ﺣَﻤْﺮَﺓِ ﺍﻟﺸَّﻔﺘَﻴْﻦِ ﺃَﻭْ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺨْﺘَﻠِﻄًﺎ ﺑِﻐَﻴْﺮِﻩِ ﻛﺒَﻘَﺎﻳَﺎ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡِ ﺃَﻭ ﻣُﺘَﻨَﺠِّﺴًﺎ ﻛَﺄَﻥْ ﺩﻣﻴﺖْ ﻟَﺜَّﺘُﻪُ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻳَﻀُﺮُّ ﻧَﻌَمْ ﻟَﻮ ﺍﺑْﺘَﻠَﻰ ﺑِذٰﻟِﻚَ ﺑِﺤَﻴْﺚُ ﻳَﺠْﺮِﻱ ﺩَﺍﺋِﻤًﺎ ﺃﻭ ﻏَﺎﻟِﺒًﺎ ﺳُﻮﻣِﺢَ ﺑِﻤَﺎ ﻳَﺸُﻖُّ الاِﺣْﺘِﺮَﺍﺯُ ﻋَﻨﻪُ
“Berbeda halnya ketika ludah telah keluar dari tempatnya, seperti ludah yang menempel di kedua bibir atau ludah yang telah bercampur dengan benda lain semisal sisa-sisa makanan atau ludah yang terkena najis ketika gusi berdarah, maka semua itu bisa membatalkan puasa.
Namun ketika seseorang diuji dengan semua itu (ludah di bibir, tercampur, dan terkena najis) yang berlangsung secara terus menerus atau sangat sering, maka ia mendapatkan toleransi sebatas perbuatan yang sulit dihindarinya.” (Nihayah Az-Zain, I/188)
Ketika semua perkara benar-benar sulit untuk dihindari, maka tertelannya ludah termasuk darurat. Sehingga kemudahan yang ditawarkan bisa menjadikan puasa yang dijalankan tetap sah.