Seringkali kita mendengar sebuah hadis yang menerangkan keistimewaan bau mulut seorang yang sedang berpuasa, sebagaimana dalam hadits yakni
لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ المِسْكِ
“Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi menurut Allah daripada bau misik.” (Shahih al-Bukhari, III/24)
Meskipun demikian, kita terkadang merasa kurang percaya diri ketika harus bertemu orang sedangkan posisi mulut kita bau karena berpuasa. kemudian kita menggosok gigi
Nah Dalam syariat islam, bersiwak atau sikat gigi ketika berpuasa seperti itu masih dianggap mendapatkan kesunahan jika dilakukan sebelum sholat dhuhur atau sebelum tergelincirnya matahari siang hari.
وَ لَا يُكْرَهُ إلَّا لِلصَّائِمِ بَعْدَ الزَّوَالِ
“(Siwak) tidak dimakruhkan kecuali bagi orang yang berpuasa setelah tergelincirnya matahari.” (Minhaj at-Thalibin, hlm. 13)
Namun jika menggosk gigi itu dilaksanakan setelah masuknya waktu dzuhur (tergelincirnya matahari) maka para ulama berbeda pendapat.
وَهل يكره للصَّائِم بعد الزَّوَال فِيهِ خلاف الرَّاجِح فِي الرَّافِعِيّ وَالرَّوْضَة أَنه يكره لقَوْله عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام (لخلوف فَم الصَّائِم أطيب عِنْد الله من ريح الْمسك) .. وَخص بِمَا بعد الزَّوَال لِأَن تغير الْفَم بِسَبَب الصَّوْم حِينَئِذٍ يظْهر فَلَو تغير فَمه بعد الزَّوَال بِسَبَب آخر كنوم أَو غَيره فاستاك لأجل ذَلِك لَا يكره وَقيل لَا يكره الاستياك مُطلقًا وَبِه قَالَ الْأَئِمَّة الثَّلَاثَة
“Apakah dimakruhkan bersiwak bagi orang yang puasa setelah tergelincirnya matahari? Maka dalam hal ini ada kontradiksi yang unggul pendapat imam ar-Rafi’i dan kitab ar-Raudhah yang berpendapat makruh berdasarkan hadis ‘Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi menurut Allah daripada bau misik.’…. dan dikhususkan dengan waktu setelah tergelincirnya matahari karena perubahan bau mulut disebabkan puasa terlihat pada waktu tersebut. Maka apabila mulutnya berubah setelah tergelincirnya matahari disebabkan hal lain seperti tidur atau selainnya, kemudian ia bersiwak karena perubahan bau itu maka tidak makruh. Menurut pendapat lain tidak dimakruhkan secara mutlak sebagai penuturan 3 madzhab lain.” (Kifayah al-Akhyar, hlm. 21)