Back to Top
Artikel Islami

Islam dan Kebudayaan

Panduan Islam Panduan Islam
Desember 08, 2020
0 Komentar
Beranda
Artikel Islami
Islam dan Kebudayaan

Islam Kebudayaan dan Kearifan Lokal

Ahmad Nilnal Munachifdlil Úla

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Kebudayaan merupakan sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Unsur-Unsur Budaya

Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:

1. Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:

  • alat-alat teknologi
  • sistem ekonomi
  • keluarga
  • kekuasaan politik

2. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:

  • sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakatuntuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
  • organisasi ekonomi
  • alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
  • organisasi kekuatan (politik)

Wujud dan Komponen Kebudayaan

Ide Abstrak

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

Aktivitas Konkreet

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

Karya Konkreet

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

Komponen kebudayaan

Kebudayaan material

Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.

Kebudayaan nonmaterial

Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

Dari peta konsep di atas, kita bisa memahami bahwa kebudayaan adalah hasil dari sebuah cara hidup yang terbentuk dari berbagai macam unsur yang rumit (Agama, politik, ekonomi, sosial, bahasa, seni dll).

Kebudayaan ini adalah hasil cipta rasa (akal budi) manusia yang terwujud secara alamiah dalam kehidupan komunal.

Ini lebih disebabkan oleh keberadaan manusia yang telah dibekali oleh Allah dengan tiga modal determinan dalam mengarungi kehidupan ini, yaitu pendengaran (assam’u), pengilahatan (albasharu) dan akal (al af’idah). ketiga modal ini disebut oleh Allah sebanyak empat kali dalam surat yang berbeda; yakni

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

78. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.( An-Nahl : 78)

وَهُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ

78. Dan Dialah yang telah menciptakan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur. ( Al-Mu'minun : 78)

ثُمَّ سَوّٰىهُ وَنَفَخَ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِهٖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ

9. Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur. ( As-Sajdah : 9)

قُلْ هُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ

23. Katakanlah, “Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati nurani bagi kamu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” ( Al-Mulk : 23)

Lebih lanjut, Ibnu Khaldun -sosiolog Muslim- memberikan penjelasan bahwa al af’idah adalah Akal. Dan akal manusia ini ada tiga jenis;

Pertama adalah akal tamyizi (pembeda), dengan jenis akal ini manusia bisa membedakan mana yang baik dan tidak, mana baik dan buruk dan seterusnya.

Kedua adalah akal tajribi (empiris), dengan jenis akal ini manusia memiliki pengalaman-pengalaman.

Ketiga adalah akal nadzari (teoritis), dengan jenis akal ini manusia mampu menciptakan teori dan mencari solusi dari setiap problematika yang dihadapi.

Ketiga entitas akal tersebutlah yang kemudian manusia mampu melahirkan budaya dan kebudayaan secara alamiah.

Islam hadir sebagai agama bukan di ruang yang hampa budaya dan kearifan lokal. Sejarah perjalanan Rasulullah SAW dalam menyebarkan misi pun menjadi saksi atas hal tersebut. Kehadiran Rasulullah di tengah-tengah masyarakat arab jahiliyah saat itu yang sudah memiliki banyak kebudayaan dan kearifan lokal tidak serta merta meninggalkan bahkan memberangus budaya dan kearifan lokal yang berlaku di dalamnya

Dalam surat Ibrahim ayat 4 Allah telah memberikan sinyalemen tentang keberadaan Rasul yang diutus dengan bahasa kaumnya.

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗفَيُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.

Ini mengisyaratkan bahwa setiap Rasul diperintahkan untuk memahami budaya dan kearifan lokal yang ada di tengah-tengah kaumnya.

Islam yang dibawa oleh baginda Nabi Muhammad SAW bisa beradaptasi dengan cara menyeleksi budaya dan kearifan lokal masyarakat arab pada waktu. Banyak sekali budaya di tengah mereka yang dikuatkan kembali oleh Islam. Dan tidak sedikit pula budaya yang sudah tidak lagi sesuai dirubah dan dimasuki dengan nilai-nilai Islam.

Seperti budaya minum khamr (arak) yang sudah mengakar kuat di kehidupan masyarakat arab pada waktu itu dirubah dengan cara yang bertahap dan pada akhirnya budaya itu dihilangkan dengan cara diharamkan karena tidak sesuai lagi dengan nilai manfaat yang ada.

Dalam kehidupan sosial, di saat baginda Nabi Muhammad SAW hadir di tengah mereka, budaya menghormati tamu sudah menjadi kearifan lokal mereka. Kemudian hal ini diapresisasi oleh baginda Nabi melalui sabdanya:

من كان يؤمن بالله ورسوله فليكرم ضيفه (متفق عليه)

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”

Solidaritas kesukuan yang sudah menjadi kearifan lokal masyarakat arab pada waktu itu, diperluas oleh Rasulullah menjadi solidaritas keumatan, sebagaimana yang dijelaskan oleh firman Allah dalam surat Al-Hujurat : 13

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

13. Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.

Dalam kehidupan ritual ibadah pun, kehadiran Islam pun masih mengadopsi budaya yang ada dengan memodifikasinya agar sesuai dengan tauhid, akhlak dan kemanusiaan. Seperti ibadah tawaf yang sebelumnya dilakukan dengan telanjang, kemudian dimodifikasi dengan memakai pakaian ihram.

Terkait dengan kearifan local, setelah Islam bertemu dengan budaya dan kearifan lokal di luar Jazirah Arab, Islam sama sekali tidak membuang keseluruhan atau mengambil keseluruhan budaya dan kearifan lokal itu. Islam memberikan muatan prinsip-prinsip dan nilai nilai Islam, seperti kejujuran, keadilan, kemanusiaan, kesamaan (egaliter).

Dalam sistem politik, Pengangkatan Abu Bakar, Umar, Usman, Ali sebagai umara (jamaknya amir yang berarti “pemimpin”) yang dilakukan dengan pertimbangan senioritas dan personal capability, merupakan sistem budaya dan kearifan lokal dalam sistem kesukuan masyarakat Arab. Sedangkan Bani Umayyah yang dalam masa pemerintahannya selama sekitar 90 tahun, mengikuti budaya lokal Romawi sebelumnya yang menggunakan sstem monarchi heredity atau aristokrasi. (Abd. Rahim Yunus, nilai-nilai islam dalam budaya dan kearifan lokal Konteks Budaya Bugis, Jurnal Rihlah Vol. II No. 1 Mei 2015)

Demikian pula Dinasti Bani Abbas, meraka menggunakan sistem budaya kerajaan Persia sebelumnya. Dalam konsep kenegaraan Budaya Persia, raja adalah turunan Dewa yang menjelma di bumi. Oleh Bani Abbas para raja mereka dipandangnya sebgai ظﻞ ﷲ ﻓﻰ اﻻرض (“bayag-bayang Tuhan di Bumi), dengan gelar ketuhanan seperti al-hadi billah, al-mutawakkil billah dst. ((Abd. Rahim Yunus, nilai-nilai islam dalam budaya dan kearifan lokal Konteks Budaya Bugis, Jurnal Rihlah Vol. II No. 1 Mei 2015)

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa islam sebagai agama merupakan filter budaya. Islam mengadopsi budaya yang ada sebelum islam dan sesuai dengan syariat islam. Adapun terkait budaya yang bertentangan dengan syariat islam makai slam menghentikan kebudayaan tersebut atau menggantinya dengan memodifikasi isinya agar sesuai dengan syariat islam

Penulis blog