Ahmad Nilnal Muna Chifdhil Úla
Sumber hukum dalam syari’at dalam pengklasifikasiannya didasarkan pada dua sisi pandang. Pembagian pertama didasarkan pada sisi pandang kesepakatan ulama sebagai sumber hukum syariat. Pembagian ini meliputi 3 bagian :
- Sesuatu yang disepakati oleh semua ulama sebagai sumber hukum islam yaitu alqur’an dan as sunnah. Hal tersebut sesuai dengan hadits yang Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa telah sampai kepadanya hadis bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
« تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ »
“Aku telah tinggalkan kepada kalian dua hal yang jika kalian berpegang teguh kepadanya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunah nabi-Nya.” (HR. Malik dalam al-Muwatha‘) - Sesuatu yang disepakati oleh mayoritas ulama (jumhurul ulama’) sebagai sumber hukum syariat yaitu ijma’ dan qiyas.
- sesuatu yang masih menjadi perdebatan ulama sperti halnya syar’u man qoblana (syari’at kaum sebelum kita).
Kemudian dipandang dari sisi cara pengambilan dan perujukannya hukum islam dibagi menjadi 2 bagian:
- Sumber hukum yang diambil secara naql (dogmatik) seperti halnya Al Qur’an, As Sunnah
- Sumber hukum yang dirujuk secara aql (melalui penalaran akal logis) seperti halnya qiyas istihsan maslahah mursalah
Bila ditelusuri lebih jauh sumber hukum dalam islam baik yang telah disepakati ulama maupun yang masih menjadi perdebatan dikalangan ulama pada dasarnya terkonsentrasi pada sumber hukum dogmatic (naqliyyah) yaitu alqur’an dan assunnah, karena itulah al qur’an dan as sunnah adalah sumber hukum primer dalam perujukan hukum hukum syariah
Dengan demikian maka tertib sumber hukum islam yaitu al qur’an kemudian assunnah kemudian ijma’ kemudian qiyas. Hal tersebut sesuai dengan hadits yang diriayatkan oleh muadz.
عَنْ مُعَاذٍ قَالَ : لَمَا بَعَثَهُ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم اِلىَ اْليَمَنِى قَالَ: كَيْفَ تَقْضِى اِذَا عَرَضَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ اَقْضِى بِكَتَابِ اللهِ قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ, قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فىِ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ اَجْتَهِدُ بِرَأْيِى وَلاَ الُوْ قَالَ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَدْرَهُ وَقَالَ اْلحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يَرْضَاهُ رَسُوْلُ اللهِ. رواه أحمد وابو داود والترمذى.
“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya.
Al Qur’an
Alqur’an merupakan dalil pertama dan utama dalam perujukan dan penetapan hukum islam karena darinya legalitas sumber hukum yang lain tercetuskan. Legalitas penggunaan as sunnah tercetus dalam Alqur’an, begitu pula untuk berpedoman pada ijma’ dan qiyas sebagai hujjah kita juga harus bersandarkan pada Alqur’an. Alqur’an juga merupakan pokok agama, dasar aqidah serta sumber syariat dan petunjuk bagi orang yang bertaqwa, sebagaimana dijelaskan dalam Ayat Alqur’an
ذلِكَ اْلكِتَبَ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
وَ ان احكم بينهم بِمَا أَنْزَلَ اللهُ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan allah”
Alqur’an adalah bentuk mashdar dengan makna qira’ah (bacaan), sedangkan secara terminologi alqur’an adalah kalamullah yang berbahasa arab yang diturunkun kepada rosulnya (Muhammad) sebagai mu’jizat yang menjadi sarana ibadah dengan membacanya. Alqur’an merupakan salah satu mu’jizat nabi Muhammad, Salah satu bentuk dari kemu’jizatan Alqur’an yakni :
- Keselarasan Ayat al Qur’an dengan teori yang diungkapkan ilmuan. Seperti halnya tentang teori perkawinan tumbuhan yang telah dijelaskan dalam Alqurán
وَأَرْسَلْنَا الرِّيَاحَ لَوَاقِحَ فَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ وَمَا أَنتُمْ لَهُ بِخَازِنِينَ
Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya. - Pemberitahuan hal yang tidak tertembus pengetahuan manusia. Seperti halnya kekalahan bangsa romawi dikemudian hari sebelum terjadi sudah dijelaskan dalam Alqurán
الۤمّۤ ۚ ﴿۱﴾ غُلِبَتِ الرُّوْمُ ۙ ﴿۲﴾ فِيْٓ اَدْنَى الْاَرْضِ وَهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُوْنَ ۙ ﴿۳﴾ فِيْ بِضْعِ سِنِيْنَ ە ۗ لِلّٰهِ الْاَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْۢ بَعْدُ ۗوَيَوْمَىِٕذٍ يَّفْرَحُ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙ ﴿۴﴾
alif lam mim. Telah dikalahkan bangsa romawi. Dinegeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi. Bagi allah lah urusan sebelum dan sesudah. Dan dihari itu bergembiralah orang orang yang beriman.
- Kefasihan lafadz, kesusastraan balaghohnya. Terbukti tidak ada satupun orang yang dapat meniru membuat ayat alqurán
Sebagai pokok agama, dasar aqidah serta sumber syariat dan petunjuk bagi orang yang bertaqwa Secara garis besar pokok kandungan Alqur’an dapat dikelompokkan menjadi 3 hal, yakni :
- Hukum yang berkaitan dengan I’tiqad seperti halnya ayat yang menjelaskan keesaan allah, tentang diutusnya para nabi, dan tentang adanya malaikat dengan tugas masing-masing
- Hukum yang berkenaan dengan akhlaq. Seperti halnya ayat yang menjelaskan larangan kita membentak orang tua dan hal lain terkait dengan akhlaq
- Hukum yang berkaitan dengan Amaliyah yang mencakup pola vertical atau horizontal. Seperti halnya ayat yang menjelaskan tentang perintah sholat, puasa, zakat dan ibadah lainnya
Al-Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah lah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah sendiri menduduki tempat kedua sebagi sumber hukum islam setelah Al-Qur’an. Kedudukan sunnah sebagai dasar hukum islam sejalan dengan ayat Al qur’a n yakni
وَمَاءَاتَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَانَهكُمْ عَنْهُ فَانْتَهَوْاوَاتَّقُوْااللهَ, اِنَّ اللهَ شَدِيْدُاْلعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”.
Selain dasar ayat alquran diatas, penggunaan sunnah sebagai sumber hukum islam juga termaktub dalam sebuah hadits, yakni :
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي
Ikutilah sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin sepeninggalku. HR Ahmad
Dari Kedua nash tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum.
Sunnah sendiri bisa diartikan sebagai segala sesuatu yang timbul dari nabi (selain al qur’an) yang mencakup perkataan perbuatan dan ketetapan atau persetujuan (taqrir) yang dapat digunakan sebagai landasan hukum syari’at.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ada 3 fokus pembahasan yang penting diuraikan secara transparan yakni terkait sunnah qouliyah, sunnah fi’liyyah, sunnah taqririyyah.
1. Sunnah Qauliyyah
Sunnah Qauliyyah sendiri berarti perkataan rosul.
Seperti perkataan beliau “Segala amal perbuatan harus disertai dengan niat” (HR. Bukhori)
2. Sunnah Fi’liyyah
Sunnah Fi’liyyah berarti perbuatan rosul dalam kesehariannya.
Seperti halnya pelaksanaan sholat 5 waktu, pelaksanaan ibadah haji yang dicontohkan langsung oleh nabi
Perilaku nabi sendiri diklasifikasikan menjadi 3 bagian yakni :
- Perilaku yang berhubungan dengan watak dan karakter manusiawi atau berhubungan dengan tradisi local bangsa arab seperti gaya duduk, gaya makan, gaya minum. Dalam konteks ini mayoritas para ulama mengatakan bahwa itu mubah bagi diri nabi sehingga umatnya tidak wajib menirunya. Namun sebagian ulama mengatakan meniru perilaku rosul semacam itu sunnah (mandub)
- Perilaku yang khusus pada diri nabi seperti puasa wishol (lanjut sampai malam) wajib tahajjud dll. Perilaku tersebut bukan termasuk pensyariatan pada umatnya.
- Perilaku rosul selain dua kategori diatasyang menjelaskan cara pelaksanaan tuntunan syariah islam, maka dalamkonteks inilah perilaku beliau berfungi sebagai pensyariatan. Dan umatnya dituntut untuk meneladani dan mengikuti jejak beliau.
3. Sunnah Taqririyyah
Sunnah Taqririyyah berarti penetapan rosulullah atas ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh para shohabat (baik dilakukan didepan beliau atau tidak dihadapan beliau tapi nabi mengetahuinya) dengan cara nabi diam, tidak ada penolakan, persetujuan atau anggapan baik yang keluar dari beliau.
Seperti halnya diceritakan Dari Abu Sa'id Al Khudri radliallahu 'anhu ia berkata: "Pernah ada dua orang bepergian dalam sebuah perjalanan jauh dan waktu shalat telah tiba, sedang mereka tidak membawa air, lalu mereka berdua bertayamum dengan debu yang bersih dan melakukan shalat, kemudian keduanya mendapati air (dan waktu shalat masih ada), lalu salah seorang dari keduanya mengulangi shalatnya dengan air wudhu dan yang satunya tidak mengulangi. Mereka menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan menceritakan hal itu. Maka beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya: 'Kamu sesuai dengan sunnah dan shalatmu sudah cukup'. Dan beliau juga berkata kepada yang berwudhu dan mengulangi shalatnya: 'Bagimu pahala dua kali'
Sebagai sumber hukum kedua setelah Alqur’an, sunnah memiliki hubungan dengan Alqur’an. Adapun kedudukan as sunnah ketika dihubungkan dengan al qur’an adalah sebagai berikut :
- Sunnah sebagai pengukuh dan penguat hukum dalam Al Qur’an, seperti halnya perintah untuk sholat, zakat, haji diperintahkan dalam alqur’an serta dikuatkan dengan hadis yang berkaitan dengan pertintah tersebut
- Sunnah sebagai interpretasi (mubayin) Al Qur’an. Sunnah sebagai penjelas dari hukum dalam alqur’an yang masih global. seperti halnya dalam al qur’an disebutkan tentang perintah sholat namun belum dijelaskan tatacaranya. Kemudian tatacaranya tersebut kemudian dijelaskan dengan sunnah atau hadis.
- Sunnah sebagai penetap hukum baru. Sunnah sebagai penetap suatu hukum yang tidak tedapat dalam alqur’an. Artinya as sunnah dapat menetapkan hukum secara mandiri. Contohya adalah praktek rajam yang diberlakukan kepada pelaku zina muhson. Larangan laki2 memakai emas atau sutra
Ijma’
Ijma merupakan sumber hukum ketiga setelah Al Qur’an dan Hadits. Ijma’ sendiri mengandung dua arti yakni yang pertama bemakna ketetapan hati untuk melaksanakan sesuatu seperti halnya disebutkan dalam surat yunus ayat 71
فاجمعوا امركم
Maka tetapkanlah hatimu dalam urusanmu
Kedua, ijma’ yang bermakna kesepakatan seperti halnya dalam firman Allah surat yusuf ayat 51 :
فلما ذهبوا به واجمعوا ان يجعلوه في غيابت الجب
Pada saat mereka membawa yusuf dan sepakat untuk memasukkannya ke liang sumur
Sedangkan menurut istilah, ijma’ adalah kesepakatan mujtahid dari umat Muhammad, setelah beliau wafat pada satu masa akan keputusan hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Dari definisi tersebut jelaslah bahwa ijma berlaku pada masa setelah rosulullah wafat, karena segala permasalahan yang terjadi semasa rosulullah masih hidup dikembalikan kepada beliau sehingga waktu itu tidak pernah terjadi perselisihan mengenai hukum syariat.
Sebagai dasar hukum ketiga setelah qur’an dan sunnah posisi ijma disepakati oleh mayoritas para ulama, meskipun ada beberapa ulama yang menentang keabsahan ijma sebagai dasar hukum. Ulama yang menyetujui ijma’ sebagai dasar hukum berlandaskan pada dalil kehujjahan ijma’ yakni
لا تجتمع امتي على ضلالة
Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan HR Ibn Majah
لا تزال طائفة من امتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي امر الله وهم كذالك
Tiada henti hentinya segolongan dari umatku menampakkan kebenaran, tidak membahayakan pada mereka orang orang yang menghinakannya hingga datanglah janji allah dan metreka tetap pada sikapnya HR Muslim
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa umat Muhammad mendapatkan keistimewaan tidak bersepakat dalam kesesatan sehingga tatkala mereka semua bersepakat atas hukum agama maka kebenaranlah yang akan mereka capai.
Selain ulama pendukung ijma’ ternyata dalam realitanya terdapat ulama yang menenetang ijma’, para ulama penentang ijma’ tersebut berdalih ayat alqur’an surat annisa’ ayat 59
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Para ulama penentang ijma’berdasarkan ayat tersebut mengartikan bahwa kita hanya diperintah taat kepada allah, rosul dan ulil amri. Tidak ada teks yang menjelaskan taat kepada consensus atau kesepakatan para ulama (ijma’). Namun jika dipahami secara mendalam, pendapat penentang ijma tersebut terbantahkan mengingat kita melakukan ijma’ juga bentuk ketaatan pada nabi muhammad karena nabi sendiri yang mengatakan bahwa Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan
Sebagaui dasar hukum islam maka ijma sendiri secara garis besar dibagi menjadi dua, yakni :
1. Ijma’ Shorih
Ijma’ Shorih yakni kesepakatan semua mujtahid atas hukum suatu permasalahan. Seperti ijma’ fuqoha’ sab’ah, tujuh fuqoha’ generasi tabi’in tentang diperbolehkannya regulasi harga
2. Ijma’ Sukuti
Ijma’ Sukuti penyampaian sebuah pendapat oleh sebagian mujtahid dan setelah mereka mengetahuinya sebagian yang lain diam tanpa adanya indikasi pengingkaran
ان يقول بعض المجتهدين في العصر الواحد قولا في مسئلة ويسكت الباقون بعد اطلاعهم على هذا القول من غير انكار
Selanjutnya para ulama berbeda pendapat mengenai sandaran hukum dalam ijma’ (dalil yang disepakati para mujtahid dalam menetapkan hukum yang mereka sepakati)
- Ijma harus bersandar pada dalil (pendapat mayoritas ulama) baik berupa nash atau qiyas.
Pendapat ini mendasarkan pada “berfatwa ifta’ tanpa berlandaskan dalil adalah sebuah kesalahan” - Ijma boleh tanpa bersandar pada dalil (al amudi dll).
Pendapat ini mendasarkan pada pemahaman bahwa ijma’ sendiri sebetulnya adalah hujjah, sehingga jika pengambilannya harus didasarkan dalil maka seakan ijma’ tidak berfungsi lagi sebagai hujjah mandiri.
Qiyas
Qiyas secara bahasa adalah perkiraan atau hipotesis, dan sudah terbiasa digunakan sebagai ungkapan dari menyamakan atau mengembalikan sesuatu pada perkara lainya yanng setara dengannya. Secara istilah qiyas berarti :
حمل معلوم على معلوم لمساواته في علة حكمة عند الحامل
Mengarahkan / menyamakan perkara yang ma’lum dengan perkara yang ma’lum lainnya karena kesamaan dalam illat hukumnya menurut orang yang mengarahkan atau menyamakan.
Sebagai hujjah keempat, para ulama yang setuju dengan adanya Qiyas sebagai dasar hukum setelah qur’an hadits dan ijma’ menggunasakan dasar hukum firman allah dalam alqur’an sebagai dalil penggunaan qiyas, yakni
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِن دِيَارِهِمْ لِأَوَّلِ الْحَشْرِ ۚ مَا ظَنَنتُمْ أَن يَخْرُجُوا ۖ وَظَنُّوا أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمْ حُصُونُهُم مِّنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا ۖ وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ ۚ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama [1464]. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mu'min. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan. [1464]
Dalam ayat tersebut ada lafadz fa’tabiru yang dituturkan setelah mengiyaskan peristiwa yang terjadi pada bani nadhir sebagai balasan atas perbuatan mereka. Dan diakhir ayat kita diperintahkan untuk mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut dan mengiyaskan diri kita dengan mereka apabila hal semacam tersebut kita alami
Selain dalil diatas yang dipakai oleh “pendukung qiyas”, para penentang qiyas juga tak mau kalah dengan mengemukakan dalil dari alqur’an. Dalil yang digunakan oleh para penentang qiyas yakni
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Dan janganlah kamu melakukan suatu tindakan yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati akan ditanya." (Al Isra 36)
وان الظن لا يغني من الحق شيئا
Sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran (An Najm 28)
Dalil yang diungkapkan para penentang tersebut tidak sepenuhnya benar karena hukum yang dihasilkan oleh qiyas bukanlah sekedar dugaan belaka. Tapi sudah sampai taraf keyakinan menurut apa yang terlintas dalam benak mujtahid
Sebagai dasar pengambilan hukum, dalam qiyas terdapat unsur-unsur Qiyas sebagai berikut :
1. Al ashl
Al ashl yakni kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash. Seperti halnya khomr minuman memabukkan yang disebutkan dalam Al Qurán dan dijelaskan hukumnya haram
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.
2. Al Far’u
Al Far’u yakni objek yang diserupakan dengan asal. Semisal hukum ekstasi, ganja, morfin yang tidak disebutkan dalam alqurán hukumnya tapi sama-sama memabukkan.
3. Hukmul Ashli
Hukmul Ashli Hukum Syara yang dibawa oleh nash. Semisal hukum haramnya khomr
4. Illat
Alasan yang dijadikan dasar oleh hukum asal (Illat). Semisal khomr diharamkan illatnya karena memabukkan
Maka contoh qiyasnya yakni Morfin disamakan dengan khomr sehingga haram dikonsumsi karena sama-sama memabukkan. Meskipun secara tekstual tidak ada penjelasan tentang morfin dalam alqurán
Untuk illat sendiri para ulama melontarkan beberapa pendapat tentang masalikil illat (dasar pencarian illat) yakni meliputi Ijma’, nash shorih, ima’/ isyarat dll