Back to Top
Artikel Islami

Fikih dan Syariah

Panduan Islam Panduan Islam
Desember 07, 2020
0 Komentar
Beranda
Artikel Islami
Fikih dan Syariah

Bab III
FIKIH dan SYARIAH

Ahmad Nilnal Munachifdlil Úla

Fikih dalam Islam

Al-Ghazali berpendapat bahwa secara literal, fikih (fiqh) bermakna al-‘ilm wa al-fahm (ilmu dan pemahaman). Secara istilah, sebagian ulama berpendapat bahwa fikih adalah displin ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syara’ (bersifat amaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci, baik dari Quran maupun Hadits. Sedangkan Menurut Abu Ishaq bin Ali al-Fairuzabadzi as-Syirazi mengatakan bahwa fikih adalah mengetahui beberapa hukum syariat yang diperoleh melalui ijtihad seorang mujtahid. Dari devinisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa fikih adalah sebuah displin ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil dari Al Quran maupun Hadits melalui proses ijtihad seorang mujtahid. Fikih bisa dimaknai sebagai elaborasi terhadap syari’ah yang berisi rincian atau kejelasan dari syari’ah.

Dari devinisi tersebut terbuka tabir bahwa fikih merupakan hasil proses ijtihad seorang mujtahid, mujtahid sendiri merupakan ulama yang memiliki kemampuan khusus dan ilmu pengetahuan yang mumpuni untuk menggali hukum dari Al Qurán dan Hadits, tidak mudah untuk mencapai derajat seorang mujtahid. Dan ada beberapa kriteria khusus untuk bisa dikatakan sebagai mujtahid, Sehingga produk hokum fikih yang dikemukakan seorang mujtahid berdasarkan hasil ijtihadnya merupakan suatu produk hukum yang layak untuk diikuti dan dipedomani.

Sebagai hasil ijtihad para mujtahid Ruang lingkup kajian fikih berada di dalam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan amaliah atau perbuatan manusia. Pemahaman hokum tersebut didapatkan dari sumber hukum (al qurán atau hadits) melalui serangkaian proses ijtihad seorang mujtahid. Inilah yang seringkali memunculkan khilafiyah (perbedaan pendapat dalam menghukumi suatu hal), karena didapatkan melalui proses ijtihad, maka banyak sekali perbedaan pendapat tentang suatu hokum fikih yang disampaikan oleh Mujtahid.

Dalam menyikapi hukum qunut subuh semisal, para ulama berbeda pendapat dalam hal apakah qunut tersebut harus dilaksanakan dalam sholat shubuh atau tidak. Meskipun berangkat dari pemahaman satu teks hadis yang bisa jadi sama, namun kesimpulan hukum yang diambil oleh seorang mujtahid bisa jadi berbeda karena beberapa sudut pandang pemikiran mujtahid yang tidak mungkin semuanya sama. Namun yang menggembirakan adalah bagi orang awam seperti kita diperbolehkan mengikuti salah satu dari mereka sehingga perbedaan pendapat dikalangan mujtahid itu justru memberikan opsi pilihan kepada kita dan perbedaan itu merupakan rohmat bagi kita.

Sebagai hasil ijtihad ulama maka fikih tidak bersifat absolut, Perbedaan pendapat pasti ada dalam memutuskan sebuah hukum fikih, dan Rasulullah tidak mempermasalahkan hal tersebut karena ia menganggap keduanya sebagai sesuatu yang bisa membuahkan pahala.

Syariah dalam Islam

Syari’ah berasal dari kata syara’a. Menurut ar-Razi dalam bukunya Mukhtar-us Shihah bisa berarti nahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan) dan bayyan-al masalik (menunjukkan jalan). Sedangkan menurut Al-Jurjani Syari’ah bisa juga artinya mazhab dan thriqah mustaqim / jalan yang lurus. Ibnu Hazm dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam berpendapat bahwa Syariah adalah nash (teks yang tidak multitafsir) yang terdapat di dalam Al-Quran, nash hadits adalah nash yang didapat dari perbuatan Baginda NAbi, nash yang didapat dari taqrir Baginda Nabi, dan ijma’ sahabat.

Dari penjelasan di atas, syariah bisa dipahami sebagai segala tuntunan, perintah, atau larangan yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya, baik dalam bidang akidah, amaliah, (perbuatan fisik), dan akhlak. Semua sumber tuntunan, perintah, atau larangan bisa didapatkan dari teks yang terdapat dalam Quran dan Hadits.

Dilihat dari segi ilmu hukum, syari’at merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam bedasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan lingkungan. Norma hukum dasar ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul-Nya. Karena itu, syari’at terdapat di dalam al-Qur’an dan di dalam teks hadits.

Sebagai sebuah nash yang terdapat dalam nash alqurán maupun hadis maka syari’ah bersifat absolut tetap, tidak ada kewenangan kita untuk merubah ataupun memodifikasinya. Hal tersebut mengingat bahwa hakikat syariah itu diterima begitu saja sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Allah (Taken for Granted).

Hubungan Fikih dan Syariat

Fikih dan syariat bukanlah dua hal yang sama sekali tidak terkait. Namun keduanya baik Fikih dan Syari’ah ternyata memiliki hubungan kausalitas atau sebab akibat, serta hubungan antara keumuman dan kekhususan. Dengan kata lain bahwa Karena adanya Syari’ah di situlah ada fikih. Beberapa hubungan dan perbedaan fikih dan Syariah diantaranya yakni :

Pertama, obyek kajian syariat sifatnya lebih umum karena mencakup akidah, perbuatan, dan akhlak manusia. Sedangkan fikih hanya berlaku pada amaliah perbuatan manusia, tidak membahas persoalan akidah dan akhlak.

Kedua, Syari’ah bersifat absolut karena memang hakikat syariah itu diterima begitu saja sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Allah (Taken for Granted). Sedangkan fikih tidak memiliki sifat absolut semacam itu karena merupakan temuan dari ijtihad masing-masing mujtahid. Perbedaan pendapat pasti ada dalam memutuskan sebuah hukum fikih, dan Rasulullah tidak mempermasalahkan hal tersebut karena ia menganggap keduanya sebagai sesuatu yang bisa membuahkan pahala.

Ketiga, syariat menggunakan bahasa yang terkadang lebih umum dan membutuhkan yang rincian dari sebuah perintah atau tuntunan, sehingga di sinilah peran mujtahid untuk menggali sebuah hukum.

Contoh implementasi Fikih dan Syariah

Sebagai dua hal yang saling berkaitan namun memiliki perbedaan, fikih dan syariat sering kali diartikan sama meskipun sebetulnya pada kenyataannya berbeda. Contoh nyata dari istilah fikih dan Syariah dapat kita lihat dalam hal perintah untuk sholat yang terdapat di al qurán serta teks hadis yang menjelaskan tentang tata cara sholat nabi Muhammad. kewajiban salat adalah syariat yang dijelaskan nash Quran sedangkan teknis pelaksanaannya dijelaskan oleh teks Hadits yang bervariasi, dan dipahami berbeda oleh kalangan mujtahid, misal terkait kesunahan qunut dan letak sujud sahwi, ada hadis yang menyebutkan qunut dan ada hadis yang tidak menyebutkan qunut sehingga akhirnya ulama pun berbeda pendapat terkait kesunahan qunut.

Contoh lain dari permasalahan fikih dan syariat yakni dalam cerita sholat ashar ketika perang ahzab yang disebutkan dalam sebuah hadis nabi. Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa Baginda Nabi ketika perang Ahzab pernah memberi intruksi kepada para sahabat: jangan ada seorangpun yang melakukan salat ashar kecuali sudah sampai perkampungan Bani Quraidhah.

عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمْ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ [ البخاري: كِتَاب الْمَغَازِي؛ بَاب مَرْجِعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْأَحْزَابِ]

Artinya: Baginda Nabi ketika perang Ahzab pernah memberi intruksi kepada para sahabat: jangan ada seorangpun yang melakukan salat ashar kecuali sudah sampai perkampungan Bani Quraidhah.

Kemudian Di tengah perjalanan, sebagian sahabat ketika sudah masuk waktu salat ashar mengatakan “kami tidak akan salat ashar sehingga kami sudah berada di perkampungan Bani Quraidhah”. Namun Sebagian sahabat berkata: tidak, kami akan salat ashar terlebih dulu, bukan begitu yang dikehendaki Baginda Nabi, beliau hanya ingin agar kita bisa bergegas sampai tujuan.”

Akhirnya sohabat pun ada yang melaksanakan sholat ashar saat waktu telah tiba meskipun belum sampai diperkampungan bani quraidhah, namun sebagian dari sahabat lain memutuskan untuk menunggu sampai perkampungan bani quraidhah baru melaksanakan sholat ashar sesuai perintah rosul. Kejadian tersebut pun akhirnya disampaikan kepada Baginda Nabi, dan ternyata beliau tidak menyalahkan satupun dari mereka atas keputusan yang mereka pilih.

Dari kisah tersebut bisa kita buat penggambaran bahwa perintah dari Baginda Nabi (jangan ada seorangpun yang melakukan salat ashar kecuali sudah sampai perkampungan Bani Quraidhah) itu adalah syariat. Adapun pertimbangan serta keputusan yang diambil para sahabat setelah mendengar, mencermati dan memahami adalah fikih.

Penulis blog